NAPAK TILAS SYUHADA' KUSUMA BANGSA KH. NAWAWI (Mengenang Napak Tilas II dan sejarahnya) oleh : Choirul Anwar
# Perjuangan KH. Nawawi menjadi cermin bagi Laskar Sabilillah. Kala Beliau memimpin perang menghadapi serangan pasukan
Belanda hingga nyawa melayang dimedan laga. Keteladanannya meletupkan api perjuangan bagi pasukannya dan akan menjadi cermin bagi anak cucu Bangsa.
Dengan mengenang kembali melalui Napak Tilas Syuhada' Kusuma Bangsa akan membangkitkan rasa nasionalisme demi melanjutkan cita - cita perjuangannya #
Gelora Napak Tilas kini telah tergugah kembali, setelah Mas'ud, panggilan akrab KH. Mas'ud Yunus Wakil Walikota Mojokerto kala itu, membidani lahirnya buku Pahlawan Tiga Generasi, yang diterbitkan oleh Pemerintah Kota Mojokerto pada tahun 2013. Biografi tiga Pejuang pada masanya yang telah berjasa untuk Negeri ini. KH. Nawawi, KH. Achiyat Chalimy dan Riyanto. Tetapi tak banyak dikenal dan terlupakan oleh generasi penerus yang sedang tenggelam dalam kenikmatan karena jasa - jasanya.
Kala itu, rembulan mulai merebahkan dari tidurnya pada posisi antara 6' - 7' diatas garis horison. Pancaran indah sinar rona merah menyeruak menerobos di celah - celah awan putih menyinari bumi yang tak lama kemudian tenggelam sirna meninggalkan petang. Saat dimana suasana mengiringi pertemuan kami berdua dirumah Abdulloh Masrur Sang Penulis Buku Titik Akhir di Sumantoro, sebuah buku sejarah perjuangan KH. Nawawi yang telah gugur sebagai Syuhada' Kusuma Bangsa. Merupakan awal pertemuan ingin merintis kembali Napak Tilas, setelah lama terlena tak mengadakan sejak kali pertama diadakan dua puluh tahun silam.
Malam terus bergulir, dari balik jendela terlihat bintang - bintang bertebaran menyambut larut yang telah tiba, seakan ikut mengakhiri pertemuan dijalan Sawunggaling itu. Pertemuan mengukir cerita tentang peringatan perjuangan anak Bangsa yang telah berjuang mempertahankan Republik ini hingga nyawa melayang dimedan laga. Awal dari sebuah cerita dilaksanakannya Napak Tilas Syuhada' Kemerdekaan KH. Nawawi.
Mentari telah sedikit menyingsing disebelah barat dari titik nadzir, poros dari garis vertikal yang ditarik membentuk bulatan. Semua PNS Pemkot nampak segar dan mulai melakukan aktivitasnya kembali setelah waktu ishoma. Demikian juga Masud Yunus diruang kerjanya mempersilahkan kami duduk sambil menutup buku yang sedang dibacanya. Tak salah. Prasangka baik yang bergelayut dihati kami, semakin membulatkan tekad untuk mengadakan Napak Tilas dapat dilaksanakan kembali.
"Saya hanya bisa membantu ini untuk kelancaran Napak tilas", ungkapnya sambil merendah sembari menyerahkan amplop coklat kepada kami, "dan tolong dibuat perencanaan, tahun depan bisa dianggarkan di APBD agar menjadi agenda tahunan Pemerintah Kota, karena Kyai Nawawi adalah seorang Pahlawan Syuhada' Kemerdekaan, layak dan wajib diperingati", lanjutnya, sambil menceritakan sejarah singkat perjuangan KH. Nawawi, saat - saat sebelum dan setelah Beliau gugur.
Menjelang pelaksanaan Napak Tilas III, Mas'ud Yunus, yang kini telah menjadi Walikota Mojokerto, mengajak kami menghadap Syaiful illah Bupati Sidoarjo dirumah dinasnya. Menyampaikan biografi perjuangan KH. Nawawi, sambil menyerahkan Buku Pejuang Tiga Generasi kepadanya. Sore itu awan petang mengiringi Rumah Dinas Bupati Sidoarjo, sinar mentari tenggelam tak kelihatan terhalang awan tebal diatas ufuk, diikuti rintik hujan terhembus angin menerpa teras Rumah Dinas Bupati. Seakan ikut menyaksikan pertemuan singkat dua Kepala Daerah yang wilayahnya pernah menjadi wilayah pergerakan KH. Nawawi menghadapi Agresi II Belanda. Pertemuan yang melahirkan dukungan baru bagi Napak Tilas - Napak Tilas selanjutnya. "Trimakasih P. Wali atas informasinya, tahun depan akan saya anggarkan di APBD, seperti halnya Kota Mojokerto", jawabnya merespon niat baik Masud Yunus. Sehingga dua tahun terakhir ini kerja sama Napak Tilas KH. Nawawi, telah dilaksanakan oleh kedua Pemerintah Daerah, Kabupaten Sidoarjo dan Kota Mojokerto.
Waktu terus berputar, tak terasa setahun telah berlalu, agenda rutin Napak Tilas sudah menunggu. Seperti halnya pesan Masud Yunus kala itu. Napak Tilas III kini telah menjadi kegiatan Pemerintah Kota, yang dilaksanakan pada bulan Nopember bertepatan moment Hari Pahlawan. Semangat menapak tilasi Pejuang yang telah mengalirkan darahnya untuk bumi pertiwi ini rupanya berkobar didada Masud. Melalui Napak Tilas ini, ia ingin agar generasi penerus menjadi generasi yang menghormati jasa pahlawannya, sebagai motivasi untuk membangkitkan rasa Nasionalisme, sehingga mampu melanjutkan perjuangannya demi Bangsa dan Negara tercinta . " Agar kita tidak menjadi orang yang tidak menghormati jasa pahlawannya", uangkapnya kepada kami.
Kepedulian Walikota ini, ternyata tidak datang tiba - tiba. Tetapi punya sejarah yang memantul dari Ayahandanya. Cermin dari seorang Ayah yang menjabat Kepala Desa Surodinawan kala itu, telah memantulkan keteladanan kepada anandanya. Beliaulah yang telah berjasa mengadakan latihan perang dibawah pimpinan KH. Nawawi, hingga melahirkan keeratan kepedulian Napak Tilas ini. Napak Tilas yang terus diadakan setiap tahun dan akan diadakan lagi besok pada tanggal 5 Nopember 2016, dengan start Desa Sumantoro Sidoarjo dan finish Jalan Gajah Mada Mojokerto.
Enam puluh tujuh tahun sejarah telah terlupakan. Sudah puluhan tahun berlalu kali pertama Napak Tilas diadakan. Kini telah bangkit kembali mengenang jasa - jasa yang harus dihargai bagi penerus generasi. Perasaan senang, lega, bahagia dan haru tak lepas dari hati kami kala itu. Kala diufuk barat mentari mulai menampakkan jingganya awan petang dan rintik gerimis mengiringi puluhan truk mengantar peserta Napak Tilas dari Jalan Gajah Mada depan Pemkot Mojokerto menuju Start di Desa Sumantoro Sidoarjo.
Tak kurang dari lima ribu warga dan peserta memadati Sumantoro, diarak awan malam yang menggantung begitu rendahnya, nun jauh diatas terlihat kilat menyambarkan apinya diatas angin yang terus berhembus. Tangis haru ribuan warga larut terbayang pisau bayonet pasukan Belanda yang menancap di leher Pahlawan Bangsa. Terutama ketika Sholawat Badar dan seru Alloohu Akbar mengumandang heroik menghiasi sirine dimulainya pemberangkatan replika keranda jenazah KH. Nawawi, yang dikuti ribuan peserta dengan bekas - bekas tangis yang masih terlihat melekat dipelupuk mata. Mereka terus berjalan menyusuri route dengan jarak tempuh 38 km. Dengan perjalanan menempuh waktu melewati malam melintasi larut hingga fajar menjemput dan pagi mengiringi penyerahan replika keranda jenazah kepada keluarga ditempat finish.
Tak kalah harunya ketika santri KH. Nawawi yang masih hidup kala itu KH. Abdul Aziz membacakan doa sebagai penutup acara ditempat finish. Doa berbahasa Indonesia yang jelas dan mudah dipahami oleh semua peserta, dibacakannya dengan penuh penghayatan, teriring suaranya yang semakin serak dan melelehkan air mata, hingga semua peserta terbawa hanyut tak terasa air matapun ikut meleleh hingga diujung dagu.
Napak Tilas Syuhada' Kemerdekaan KH. Nawawi ini lahir karena sejarah perjuangan Beliau yang telah mendharma bhaktikan hidupnya dengan tulus dan ikhlas demi Bangsa dan Negara. Berjuang mempertahankan Republik ini dari cengkeraman penjajah. Bahkan dengan mempertaruhkan nyawa sekalipun. Jejak perjuangannya mengobarkan api semangat bagi pejuang - pejuang Bangsa.
Kala itu, malam larut telah menyingsing meninggalkan fajar. Rembulan mulai tenggelam dibawah benang yang membentang datar, dengan meninggalkan semburat cahayanya yang semakin memudar jauh diarah timur, KH. Nawawi dan pasukannya menghadapi serangan dahsyat pasukan Belanda yang telah mengepungnya. Suara tembakan terus beriring melesatkan peluru membelah gelap menyisir medan - medan pertahanan pasukan Sabilillah. Beberapa jam pertempuran sengit terjadi. Tak ada kata menyerah, perlawanan terus dilakukan, sedikitpun tak merasa gentar walau bebekal senjata dan jumlah pasukan yang tak seimbang. Didorong oleh semangat jihad yang ditanamkan KH. Nawawi. Jihad kecintaan terhadap Tanah Air, Bangsa dan Negara.
Mentari pagi mulai memancarkan sinarnya di ufuk timur menerobos awan putih yang menyelimuti bantaran sungai sukodono dan sekitarnya, yang menjadi daerah pertempuran kala itu. "Jangan mundur, jangan mundur", Komando perintah KH. Nawawi kepada pasukannya. Dengan gagah beraninya memimpin perlawanan dibarisan paling depan, saat menghadapi serangan pasukan Belanda di Desa Sumantoro, dipinggiran sungai Sukodono.
Perlawanan semakin gencar dan tak surut sedikitpun, hingga mentari berjalan jauh diatas garis merebah dari arah Timur Laut. Garis yang membentang lurus dan mulai hilang tak kelihatan dari pandangan mata. Namun tak ada tanda - tanda Pertempuran bakal berhenti. Perang jarak dekatpun terjadi dan perkelahian adu fisik tak dapat dihindari. KH. Nawawi dikeroyok oleh pasukan Belanda, mereka nenghunjamkan pisau bayonet dengan empat tusukan tepat mengenai leher Beliau. Akhirnya KH. Nawawi gugur dimedan perang sebagai Syuhada' Kusuma Bangsa, tepat pukul 09.00 WIB hari senin tanggal 22 Agustus 1946 di desa Sumantoro Kecamatan Sukodono Kabupaten Sidoarjo.
Dengan sigapnya tentara Hizbulloh mengevakuasi jenazah membawa lari dari daerah pertempuran. Berita ini cepat tersiar sampai di Mojokerto. Hingga para pejuang dari Mojokerto cepat menyusul berebutan membawa Jenazah kerumah duka. Dengan Kalimah Laailaaha Illalloh mengumandang haru menyelimuti suasana duka mengiring kepergian Sang Syuhada' untuk selama - lamanya. Teriring kucuran air mata deras yang terus mengalir membalut duka yang mendalam diatas dendam yang menderu - deru untuk membalas gugurnya KH. Nawawi. Dadanya semakin berkobar menggelorakan perang mengusir penjajah hingga titik darah penghabisan, sebagaimana jejak keteladanan yang telah diwariskan oleh Komandannya. Sementara Helikopter pasukan Belanda terus mengintai melayang - layang diudara dan menghilang bersama hilangnya awan yang tersingkap angin siang, saat
jenazah disambut ribuan warga dirumah duka, Jalan Gajah Mada 118 Mojokerto yang sekarang berdiri Pondok Pesantren An - Nawawi, sebelum menuju pemakaman umum Desa Losari Kecamatan Gedeg Kabupaten Mojokerto, tempat dimana Beliau disemayamkan.*
*) Penulis adalah Camat Magersari Kota Mojokerto.