DONGENG DAN KISAH MASA LALU ANAK DESA ( Sebuah Renungan ) Oleh : Choirul Anwar

Posted by Admin on

        Seiring perjalanan waktu, kadangkala terkenang lembaran masa lalu. Diantara kisah hidup sewaktu masih anak-anak. Tak disadari jika masa lalu itu bagai mengukir batu yang takkan pernah hilang oleh arus waktu. Ia adalah sejarah yang tak pernah sama dalam setiap jiwa dan akan mewarnai perjalanan hidup dalam mengejar senja.

        Tak terasa dongeng sebelum tidur kala kecil telah mengukir kalbu. Sebuah dongeng panjang dari Ayah tercinta. Saat aku masih duduk dibangku kelas 4 Madrasah Ibtidaiyah. Dongeng tentang kisah asmara dari dua insan yang terpisah berakhir duka lara.

        Malam itu angin berhembus lembut, meyentuh rerimbunan pohon yang mengelilingi rumahku. Daun-daun pun bergerak menari dibawah sinar terang rembulan. Terlihat bayang-bayang dedaunan semakin melenggangkan tariannya diatas tanah kering kemarau disekitar pelantaran rumah, seiring dengan terpaan angin yang terus berubah dari waktu ke waktu

        Sebuah rumah yang terletak disudut kampung berada membelakangi sungai brantas, membuat angin leluasa tak sedikitpun terhalang meniup pepohonan dan rumah-rumah di pinggiran sungai. Begitupun rumahku yang terletak diantara deretan mereka. Tak pernah lolos dari semilir angin malam yang bergerak dari cakrawala bebas menerobos sela-sela anyaman bambu dinding rumahku. Juga diantara genteng-genteng rumah yang tak rapat, membuat angin berhembus masuk kedalam rumah tanpa atap plafon itu, menjadi lebih bebas hingga udara didalam rumahpun menjadi lebih segar.

        Dirumah itulah hampir setiap malam tiba, sambil berbaring bertiduran disebelah ayah, diatas dipan beralaskan tikar. Ayah memulai dongengnya sebagai pengantar tidur untuk ananda tercinta. Tak jarang Ayah juga mengajak ke Langgar untuk menyampaikan dongeng itu. Mungkin agar suasana tidak jenuh dan berganti dengan suasana baru yang lebih segar. Sesegar hawa malam kala itu.

        Jarak antara langgar dan rumah sangat berhimpitan. Bahkan tak sampai satu meter dengan teras rumahku, sehingga cukup dengan selangkah kaki sudah sampai di langgar tersebut. Langgar yang diberi nama ' Darul Muttaqin ' atau tempat orang-orang yang bertaqwa. Langgar kecil yang hanya cukup untuk tiga shof didalam, dan satu shof di teras. Setiap shofnya maksimal hanya untuk sepuluh orang, itupun berdesakan. Konon langgar tersebut peninggalan mendiang kakek kami. Kakek dari Ibunda tercinta (Almh) Choirunnafi'ah, yang terletak di dusun Jombatan, desa Jombatan, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Jombang. Yang saat ini sedang dalam proses pemugaran untuk kedua kalinya.

        Langgar yang hanya dilengkapi dua dampar dan satu lampu minyak tanah, yang kerap kali kaca lampu tersebut menghitam karena tersulut nyala api yang tergerak semilir angin, menyebabkan pancaran sinar lampupun  menjadi redup. Sehingga setiap hari dibersihkan, agar sinarnya menjadi lebih terang untuk dipakai belajar mengaji dimalam hari.

        Lampu tersebut terpasang menggantung ditengah ruangan lurus dibawah pucuk atap. Lampu yang setia menerangi kami bersama anak-anak desa lainnya yang sebaya. Belajar mengaji, membaca Al-Qur'an dengan metode Bagdadi yang dipakai kala itu. Antre satu persatu secara bergantian dibawah bimbingan Guru kami Ayahanda tercinta (Alm) Ahmad Dimyathy.

        Sebagai rutinitas dalam setiap mengakhiri belajar mengaji, Ayah selalu melantunkan syair arab yang diikuti semua santri. Sebuah qosidah ba'da ta'lim yang dilagukan dengan merdu bersama suara alami anak-anak desa. Merupakan untaian doa indah. Memohon kepada Alloh Robbul 'Alamin, agar dilepaskan dari himpitan belenggu fitnah, diberikan kemanfaatan, serta diberikan kemampuan untuk dapat mengikuti titah para KekasihNya. Menyusul dimulainya adzan isya' yang telah terjadwal secara bergantian.

        Saat menjelang larut malam. Seperti biasanya, Ayah akan memulai dongengnya. Kali ini Ayah mengajak ke Langgar, setelah beberapa malam kunikmati dongeng bersambung itu dirumah. Demikian terus bergantian, kadang dirumah dan kadangkala dilanggar, yang telah mewarnai malam-malam kami berdua bersama Ayah dan menjadi kenangan indah yang takkan terulang lagi.

        Kini bayangan itupun masih terasa. Terutama saat terdengar kicauan burung 'Dasih' dari arah pucuk pepohonan bambu dibelakang rumah, seolah masih terngiang ditelingaku. Burung yang selalu berkicau dimalam hari dengan suara kicauan yang berulang-ulang dan terdengar memelas itu, kerap mengiringi dongeng Sang Ayah. Kata orang kicauan memelas burung 'dasih' itu sedang memanggil manggil dan mencari anaknya yang telah tiada. Entah itu benar atau salah. Hanya Alloh yang Maha tahu.

        Terkadang akupun rindu dengan kicauan itu, suara kicauan yang semakin melemah hingga hilang tak terdengar dikeheningan malam. Tapi kini tak pernah kudengar lagi kicauan itu, entah kemana ataukah memang punah menyusul kepergian anaknya.

        Udara dingin malam itu semakin terasa. Angin meniup dari arah selatan menyentuh baju tetoron dan sarung nilon yang kupakai sejak sore tadi, hingga hawa dingin merasuk ke dalam pori-pori tubuh. Pori-pori tubuh kerempeng anak desa yang sedang berbaring bertiduran disamping Ayahandanya. Disebuah teras langgar kecil, berlantaikan plesteran tanpa selembar tikarpun, dan kubiarkan hawa dingin mengembun, melekat pada kulit tubuhku demi menyimak khidmat akhir sebuah dongeng yang selalu kunanti.

        Dongeng tentang Zainuddin dan Hayati. Dengan cintanya yang telah terajut dalam relung kalbu. Ternyata terhalang oleh status dan materi. Sehingga Hayati harus memilih menerima pinangan Aziz Pemuda kaya dari keluarga terpandang, dan menolak Zainuddin. Zainuddin yang tak kuasa dengan penolakan itu. Hatinya kembali robek, bagai teriris, tersayat, dari luka rintangan yang sudah terbalut gelisah cinta. Tak terbayangkan deru cintanya tenggelam dalam perasaan sakit diatas sakit, yang membawanya pergi jauh. Sampai akhirnya takdir mempertemukannya kembali dengan Aziz dan Hayati. Tabiat jelek Aziz menyebabkannya terlilit ekonomi, hingga keduanya numpang dirumah Zainuddin yang telah sukses sebagai seorang penulis dan sutradara di Surabaya. Akhirnya Aziz menyerahkan Hayati kepada Zainuddin, lalu mengadu nasib ke Banyuwangi dan berakhir bunuh diri.

        Walau Hayati telah meminta maaf dan berjanji mengabdi kepada Zainuddin. Zainuddin tetap tak bisa menerimanya, bahkan menyuruh Hayati pulang ke kampung halamannya. Tak ada pilihan lain, terpaksa Hayati pulang dengan menumpang kapal vander wijck menuju Padang Panjang.

        Rupanya Zainuddin tak bisa melepaskan begitu saja, hatinya menjadi gundah, ia menyadari takkan mungkin bisa hidup tanpa Hayati, terutama setelah membaca surat yang ditinggalkan Hayati, bertuliskan. "Aku cinta engkau, dan kalau kumati, adalah kematianku didalam mengenang engkau". Kegundahannya membuat ia menyusul Hayati, dengan naik kereta malam menuju Jakarta. Tetapi pupuslah harapan itu. Karena kapal vander wicjk yang ditumpangi Hayati tenggelam diperairan dekat Tuban. Mendengar kabar itu, Zainuddin langsung kembali dan akhirnya menemukan Hayati dalam keadaan terbaring lemas sambil memegangi foto Zainuddin, disebuah Rumah Sakit di daerah Lamongan, dan pada saat itu pula Hayati sempat berpesan, sebelum akhirnya meninggal dalam dekapan Zainuddin. Tak lama dalam kesedihannya, Zainuddin pun menyusul karena sakit dan dikubur bersebelahan dengan pusara Hayati.

        Selesailah sudah akhir sebuah dongeng panjang yang selau kunanti setiap hari. Yang membuat aku penasaran dan selalu berharap berakhir dengan kebahagiaan. Namun apa yang terjadi, justru membuat nafas ini terasa sesak, jantungku berdebar keras, tak terasa air mata meleleh, larut mendengar kisah pilu Zainuddin Hayati.

        Malam itu suasana terasa hening sekali. Diatas terlihat langit cerah, dihiasi bintang-bintang bertebaran yang semakin meninggi. Layaknya anak-anak desa sudah tertidur pulas dan sedang bermimpi bermain dengan teman sebayanya disiang hari bolong. Tapi aku masih saja termenung, sesekali dada masih terasa sesak. Sambil menggerakkan tangan, kuusap bekas air mata yang masih melekat basah dipelupuk mata hingga bersih dan mengering.

        Waktu terus berjalan dan terasa begitu cepat berlalu. Setelah aku menginjakkan kaki di bangku kelas 2 SMP, baru kusadari kalau dongeng yang pernah kudengar empat tahun silam itu, ternyata sebuah cerita yang diambil dari novel "Tenggelamnya Kapal Vander Wijck", karya Haji Abdul Malik Karim Amrulloh, atau dikenal dengan nama HAMKA.

        Novel itu aku peroleh dari seorang teman waktu sekolah di SMP. Ketika dia menghampiriku saat sama-sama pulang sekolah. Sesampai dirumah kusampaikan kepada Ayah, kalau dongeng itu adalah sebuah novel. " Ya...akupun baru mengetahui setelah usia remaja, setelah sekian tahun kudengar dongeng itu. Dongeng itu aku dengar dari Guruku, yang disampaikannya secara bersambung setiap hari menjelang pulang sekolah. Waktu aku Sekolah di Madrasah Ibtidaiyah yang berada di Kauman Kotamadya Mojokerto", ungkap Ayah sambil tersenyum haru, dengan wajah yang menyiratkan rasa rindu kepada Gurunya.

        " Kamu tahu dari mana?", ujarnya balik tanya. Terasa berat rasanya untuk menjawab pertanyaan Ayah, karena diliputi perasaan malu. Tapi sebagai seorang anak, wajib hukumnya hormat kepada orang tua. Akhirnya kujawab pertanyaan itu dengan wajah tertunduk malu. " Saya peroleh dari teman sekolah".   "Siapa.?", lanjutnya. Tak sedikitpun aku berani berbohong, dan setelah kujawab, Ayah tersenyum seolah memahami apa yang ada di benakku.

        Novel itu aku peroleh dari seorang gadis cantik yang masih sekampung dengan aku, tapi tak lama  kemudian ia jatuh sakit dan meninggalkan alam fana ini. Semoga ia berbahagia dalam kebaqaannya. Aamiin...(ch.ar)


(Penulis adalah Camat Magersari Kota Mojokerto)